Sabtu, 23 Januari 2010

Student Today, Leader Tomorrow



 |
Selama ini, kader-kader IPNU-IPPNU (Ikatan Pelajar NU – Ikatan Pelajar Putri NU) di Jakarta umumnya didominasi pelajar dan santri dari madrasah dan pesantren. Jarang sekali dijumpai kader IPNU-IPPNU yang berasal dari SMA negeri.
Padahal, para pelajar SMA negeri merupakan pelajar potensial yang umumnya mendominasi mahasiswa baru di Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan PTN lainnya.

Atas dasar itulah, Yayasan MataAir Jakarta bekerjasama dengan PP IPNU-IPPNU kembali mengadakan Makesta Unggulan, setelah sebelumnya sukses diselenggarakan untuk merekrut pelajar SMA negeri di Yogya dan Jawa Tengah, Januari 2007 lalu. Makesta Unggulan yang bertema ”Student Today, Leader Tomorrow” kali ini bertujuan untuk merekrut kader muda potensial dari SMA-SMA negeri se-DKI Jakarta. Dengan waktu persiapan yang relatif singkat, para pengurus cabang dan wilayah IPNU-IPPNU se-DKI Jakarta berhasil merekrut 55 peserta untuk mengikuti Makesta Unggulan.

Kegiatan Makesta Unggulan DKI Jakarta pun berhasil dilaksanakan di Pusgrafin Lenteng Agung dari 3-5 Januari 2008 lalu. Ketua Umum PP IPNU, Idy Muzayyad beserta pengurus pusat IPNU-IPPNU lainnya tampak hadir mengisi acara tersebut dan bahkan langsung melantik para peserta menjadi kader IPNU-IPPNU.

Selain Idy, pembicara lain yang memberikan materi adalah Cholil Nafis, MA (Pengurus Lembaga Bahtsul Masail PBNU), Nusron Wahid (Ketua Yayasan MataAir Jakarta), Achmad Solechan, M. Si (Direktur Bimbel Makara Insani) dan Muhammad Yusuf Kosim (Peneliti Indo Barometer). Para pembicara mengajak para peserta untuk mendalami ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah yang rahmatan lil alamiin serta memberikan motivasi kepada peserta agar sukses mencapai cita-citanya.

Di hari terakhir, para peserta diajak untuk melakukan penyegaran dengan Outbound di Kampus Universitas Indonesia Depok yang dapat ditempuh dengan jalan kaki dari Pusgrafin. Arena outbound yang terletak di area terbuka hijau dekat danau samping Asrama Mahasiswa UI membuat para peserta betah berlama-lama setelah mengikuti games-games outbound.

Sebagai peserta putra terbaik terpilih Sony Kurniawan (SMA 84 Jakarta Barat) dan peserta putri terbaik Kartini Laras Makmur (SMA 8 Jakarta Selatan). Di akhir acara, para peserta meneguhkan komitmennya untuk menyebarkan syiar Islam ahlussunnah wal jamaah di sekolahnya masing-masing dengan mengajak teman-teman di sekolahnya untuk bergabung ke IPNU dan IPPNU. (Alf)

Rabu, 20 Januari 2010

| IPNU-IPPNU RANTING WALANG SANGA

| IPNU-IPPNU RANTING WALANG SANGA

GUSDUR ASYIK BANGET GITU LOH,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Peresensi: Nurun Nisa
Judul Buku: Gus Dur…Asyik Gitu Loh
Penulis: Maia Rosyida
Penerbit: The WAHID Institute
Cetakan: 2007
Tebal Buku: 98 halaman
Keliru besar kalau Anda menyangka bahwa Gus Dur cuma pujaan khusus kalangan dewasa dan orang-orang politik saja. Mau bukti? Buku bertitel Gus Dur…Asyik Gitu Loh akan membalikkan anggapan Anda selama ini. Buku karya Maia Rasyida, siswi Sekolah Menengah Universal (SMU) Qaryah Thayyibah, ini membingkai kekaguman remaja terhadap sosok Gus Dur dengan bahasa khas anak gaul sekarang. Namun isinya tetap bernas.
Ini dapat dicermati dari lembar-lembar tulisannya. Di awal, misalnya, kita bisa melihatnya dengan baik dalam soal penggambaran fisik Gus Dur.
“Gus Dur itu ganteng? Setuju banget. Tepatnya, good looking abis. Rasanya nggak perlu lagi sibuk hunting cowok muda yang segar dan punya perut six pack. Gus Dur (memang) jika dilihat dari struktur wajah mungkin masih boleh dibilang kalah jauh sama Brad Pitt atau aktor siapalah itu yang bisa bikin cewek-cewek yang ngelihat langsung teriak histeris. Diliat dari postur badan juga boleh dikatakan Gus Dur masih jauh dari sempurna…. Tapi kenapa kita bisa lebih betah mandangin wajah Gus Dur daripada para icon cover boy yang banyak nampang di majalah remaja itu?” (hlm. 11)
Dara kelahiran 1987 ini punya jawabnya. Gus Dur enak dipandang sebab beliau memiliki segudang kharismatik dan inner beauty luar biasa. Tak lain ia adalah seorang intelektual yang menata hidupnya dengan akhlak dan selalu disirami dengan ilmu. Waktu SD saja Gus Dur sudah akrab dengan karya-karya Karl Marx, catatan-catatan pemikir Marxisme, dan berbagai macam buku filsafat.
Kita dapat pula membaca komentar Maia terhadap pembelaan Gus Dur atas goyangan Inul yang kontroversial itu.
“Sikap Gus Dur membela Inul dari kecaman orang-orang yang mengaku Islam adalah cerminan sikap Rasulullah. Rasulullah gak perlu pake kekerasan ketika mendidik umatnya yang masih belum tau. Karna Gus Dur tau betul Inul itu belum begitu tau agama, maka dia mengayominya dengan cara yang kalem. Menunjukkan begitulah Islam. Mengajak berpikir, tak boleh keras, dan sangat menghormati perbedaan pemikiran,” (hlm. 39).
Sikap bijak Maia ini, bagi penulis, melebihi kadar usianya. Bahkan melampaui penentang Inul, yang sebagiannya, terang benderang tidak menunjukkan kematangan usia mereka dalam merespon isu yang sama. Mereka tak mampu menyampaikan perbedaan pendapat dengan santun. Cuma berani unjuk kekuatan saja layaknya preman (berjubah).
Lain lagi soal korupsi. Maia prihatin betul dengan korupsi dan pengadilan yang tak kunjung unjuk gigi. Maia salut dengan gaya Gus Dur yang potong kompas demi mengamputasi budaya korupsi secara radikal.
“Korupsi udah nggak mau tau tempat lagi. Ini mungkin satu hal yang yang menyebabkan negeri ini menjadi hopeless untuk bisa bersih…pengadilan juga udah banyak yang punya dwifungsi. So..biar pengadilan jadi layak disebut adil dan terpercaya, kira-kira gimana yah caranya? Nggak ada harapan banget nih. Kuncinya emang pemimpin mesti tegas dan bersih. Berani dan tanggung jawab dunia wal akherat. Kaya’ Gus Dur ajalah. Santai gitu. Tinggal pecat sana pecat sini. Asyik tuh. Nggak bertele-tele dan habis. Meski beresiko tinggi, ya emang begitu kan resikonya jadi orang jadi orang nomor satu? Begitu kan resikonya seorang pembela kebenaran?” (h. 52).
Mendengar ini, para politikus, aparat penegak hukum, dan tentu saja para koruptor itu sendiri selayaknya merenung. Atau malah malu. Sebab, remaja yang masih bau kencur saja tahu dan bisa memilih yang terbaik; bahwa kebenaran dan kebersihan mestilah dijadikan pegangan hidup seperti dipraktikkan Gus Dur. Bukan berlindung di balik kebohongan atau justru menggadaikan diri dengan kekuasaan. Padahal, mereka tahu perkara ini lebih dalam dan lebih banyak ketimbang seorang remaja seumuran Maia. Tapi mereka tak mau melakukannya.
Buku setebal 98 hlm ini layak baca untuk semua kalangan. Diksinya renyah—namun tak sampai jatuh pada kegenitan remaja yang kadangkala membikin tulisan menjadi barisan kosakata prokem yang tak ada isi sama sekali.
Meski begitu, ia tetaplah buku bergizi tinggi. Ini dapat dilihat dari rujukan pendapat Maia; mulai dari puisi-puisi Gus Mus, cerita-cerita Abu Nawas, Sirah Nabawiyah sampai kaidah-kaidah fiqhiyyah yang lumayan rumit.
Buku ini gue banget buat para teman remaja. Para orang tua tidak perlu khawatir membaca buku ini. Dijamin tidak akan merasa digurui. Justru mereka dijadikan teman bicara yang setara. Wallahu A’lam.
Sumber: www.wahidinstitute.org